Kesalahan Berpikir Umat Hindu Bali Mengenai Toleransi Beragama: Kok Lebih Keras ke Sesama Hindu Beda Aliran? Oleh: VedantaBook
Intro: Puja-Puji Toleransi, Tapi...
Om Swastiastu Semeton Hindu. Mohon maaf sebesar-sebesarnya jika artikel yang penulis buat sedikit menyinggung, tetapi penulis membuat artikel ini dengan tujuan untu mengingatkan semeton hindu untuk selalu intropeksi diri. Artikel ini penulis buat sebagai bentuk keresahan penulis terhadap kejadian kejadian yang terjadi di Bali dan viral di platform media sosial seperti Instagram, Facebook dan sebagainya yang dimana masyarakat Bali atas nama destra bali mendiskriminasi penganut hindu lainnya seperti Penganut Sampradaya atau garis perguruan yang terutama ISKCON atau lebih dikenal dengan Hare Krishna yang dianggab ajaran sesat oleh destra bali, dan mereka ini lebih memusuhi sesama nyame braye hindu dan belok ajom ajak agama len seperti islam dan kristen, dan inilah kesalahan berpikir yang penulis maksud, saking toleransinya mereka sampai pindah agama dan membiarkan pindah agama, sementara beda aliran mereka keras dan memusuhi sampai di usir, banyak mandir yang ditutup, sementara umat agama lain buat onar mereka diam seribu kata dengan dalih toleransi, contoh kasusnya pada saat hari raya nyepi mana ada mereka menghormati. Toleransi itu bersifat dua arah bukan satu arah yang artinya saling menghormati, mengapa hanya agama kita yang dituntut toleransi sementara agama mereka tidak.
Bicara soal toleransi beragama, Bali sering disebut sebagai contoh ideal harmoni antara agama dan budaya. Umat Hindu di Bali dikenal menjaga kearifan lokal dan menjunjung tinggi kerukunan antarumat beragama. Tapi, pernah nggak sih kita mengulik lebih dalam tentang bagaimana hubungan antarumat Hindu sendiri, terutama yang beda aliran atau cara sembahyangnya? Di balik wajah toleran terhadap agama lain, ada fenomena menarik (dan ironis) di mana umat Hindu Bali justru menunjukkan sikap intoleransi kepada sesama umat Hindu yang berbeda cara praktik keagamaannya.
Bali. Siapa yang nggak bangga ngomongin pulau kita? Sering dijual sebagai "surga toleransi", tempat berbagai agama hidup berdampingan damai. Gambaran umat Hindu Bali yang ramah, ngaben megah, upacara meriah, dan senyum tulus ke turis atau pendatang beda agama itu real. Tapi, ada ironi besar yang sering banget diabaikan, bahkan oleh kita sendiri:
Toleransi yang Hanya Kulit Luar?
Secara historis dan sosial, Bali dikenal sangat ramah kepada agama-agama lain. Perayaan Galungan bisa berdampingan dengan Natal, dan Pura bisa berdiri tak jauh dari Gereja atau Masjid. Namun, toleransi ini seringkali hanya nampak di permukaan. Saat kita masuk ke ranah internal, di mana umat Hindu memiliki banyak sekte atau aliran seperti Shiva Sidhanta, Pasupata, Waisnawa, bahkan beberapa komunitas yang mempraktikkan ajaran dari India langsung, justru muncul gesekan.
Misalnya, ketika seseorang tidak melakukan upacara sesuai adat desa pakraman atau tidak memakai banten yang sama seperti umumnya, mereka bisa dianggap "ngoyong" (menyimpang) atau bahkan dicap tidak suci. Padahal, esensi Hindu adalah kebebasan spiritual dan jalan yang beragam menuju kebenaran.
Kesalahan Berpikir: Antara Adat dan Agama
Salah satu akar dari intoleransi ini adalah tercampur-aduknya antara adat (desa kala patra) dan ajaran agama Hindu itu sendiri. Banyak orang Bali yang menganggap bahwa cara beragama Hindu di Bali—dengan segala tata upacaranya yang kompleks—adalah satu-satunya cara yang benar. Padahal, ajaran Hindu dalam kitab suci seperti Bhagavad Gita atau Weda bersifat sangat terbuka dan universal.
Menurut Dr. I Ketut Donder, pakar filsafat Hindu dan penulis buku *Tattwa Jnana*, banyak umat Hindu yang terjebak pada "ritualisme" dan melupakan aspek spiritual yang lebih mendalam. Mereka sibuk mengejar kesempurnaan upacara dan bentuk luar, tapi gagal memahami makna terdalam dari dharma.
Beda Aliran Bukan Berarti Sesat
Fenomena ini makin terasa ketika muncul komunitas Hindu baru yang membawa pendekatan berbeda—misalnya mereka yang lebih fokus pada meditasi, ajaran yoga, atau mengadopsi bentuk ibadah seperti Bhajan dan Kirtan ala India. Nggak jarang mereka ini dianggap sesat, bahkan dijauhi oleh keluarga atau masyarakat.
Ironisnya, saat umat Hindu Bali berbicara tentang toleransi kepada agama lain, mereka bisa sangat terbuka. Tapi ketika tetangganya sendiri mengubah sedikit cara sembahyang, justru dijudge, dipelototi, bahkan diasingkan. Di sinilah letak kesalahan berpikir yang harus diluruskan.
istilah "ajaran sesat" yang kerap dilontarkan sebagian umat Hindu Bali terhadap aliran Hindu non-tradisional Bali lebih merupakan kesalahan persepsi ketimbang kriteria teologis yang valid.
Tuduhan "sesat" biasanya muncul bukan karena melawan inti Hindu (Sanatana Dharma), melainkan karena:
- Tidak mengikuti pakem ritual Bali (contoh: pakaian, bahasa Sanskerta vs. Kawi, bentuk upacara).
- Dianggap "mengancam" kemurnian tradisi lokal (seperti kasus Hare Krishna).
"Sesat" dalam konteks Bali sering kali adalah bias budaya:
Bukan evaluasi teologis atas penyimpangan Veda,
Melainkan penolakan terhadap ekspresi Hindu yang tidak 'Bali-sentris'.
Toleransi yang "Setengah Hati"?
Kita sering bangga bilang Bali itu pulau toleran, di mana Hindu, Muslim, Kristen, dan lain-lain hidup rukun. Tapi ada ironi lucu (atau miris?) di balik itu: umat Hindu Bali justru kadang lebih intoleran terhadap sesama Hindu yang beda aliran!
Contoh nyata? Coba tanya ke orang Bali tentang aliran Ganapati, Saiwa Siddhanta, atau bahkan Hare Krishna. Reaksinya bisa dari "Itu bukan Hindu Bali!" sampai anggapan sesat. Padahal, Hindu itu beragam, bukan cuma "Bali sentris".
Kenapa ini terjadi? Mari kupas dengan santai, plus data dan referensi biar nggak asal nuduh.
1. "Hindu Bali" vs "Hindu Lain": Egoisme Kultur
2. Kasus Nyata: Penolakan terhadap Hare Krishna & Aliran "Baru"
4. Kenapa Umat Hindu Bali Bisa Seperti Ini?
- Pendidikan Agama yang "Bali-Sentris"
- Kurikulum Hindu di Bali jarang membahas keragaman aliran.
- Buku "Agama Hindu: Sebuah Pengantar" oleh I Ketut Wiana fokus besar pada tradisi Bali, bukan Hindu global.
- Ketakutan akan Perubahan
- Ada kekhawatiran bahwa aliran "luar" akan mengikis budaya Bali.
- Politik Identitas
- Penelitian Jurnal Kajian Bali (2018) menyebut bahwa "Hindu Bali" sering dipakai sebagai alat politik untuk menjaga dominasi budaya.
5. Solusi: Belajar dari India, Beda Aliran Tetap Satu Keluarga
- Lebih banyak dialog antaraliran.
- Kurikulum agama yang lebih inklusif.
- Memisahkan antara agama dan budaya.
- Kesimpulan: Toleransi Harus Dimulai dari Dalam
Umat Hindu Bali kerap lebih toleran ke pemeluk agama lain (Islam, Kristen, dll) dibanding ke sesama Hindu yang beda aliran atau tradisi.
Kok bisa? Ini nggak asal nuduh, lho. Ada banyak bukti dan pengalaman. Pernah dengar cerita soal komunitas Hare Krishna yang dicurigai? Atau umat Hindu Jawa yang dianggap "kurang Hindu" karena nggak ngaben ala Bali? Atau pandangan sinis ke aliran-aliran seperti Ganapati, Saiwa Siddhanta, atau praktik Tantra tertentu?
Nah, artikel ini mau ngupas tuntas fenomena ini. Kenapa kita bisa bangga bilang "Bali toleran" sambil side-eye ke saudara seiman sendiri yang agak beda? Mari kita bedah pelan-pelan, pake bahasa santai, tapi tetep pake referensi buku, penelitian, dan berita biar nggak asal gebuk.
1. Mitos Utama: "Hindu yang Benar = Hindu Bali"
Ini akar masalahnya. Banyak umat Hindu Bali (nggak semua, tapi cukup signifikan) secara sadar atau nggak, menyamakan "Hindu" dengan "Budaya dan Tradisi Bali". Agama dan budaya udah nyatu banget, sampai-sampai apa pun yang keluar dari pakem adat Bali dianggap "bukan Hindu sejati" atau "nyeleneh".
Fakta Dasar yang Sering Dilupakan:
Hinduisme itu BANYAK SEKALI Alirannya! Ada Saivisme (pemuja Siwa), Vaishnavisme (pemuja Wisnu), Shaktisme (pemuja Dewi), Smarta, dan masih banyak lagi. Belum lagi perbedaan filosofis dalam aliran-aliran itu sendiri.
Sumber Referensi: Buku "The Hindus: An Alternative History" karya Wendy Doniger (2009) secara gamblang menunjukkan keragaman luar biasa dan ketiadaan otoritas tunggal dalam Hinduisme sepanjang sejarah. Hindu India saja sangat berbeda dengan Hindu Nepal, apalagi dengan Hindu Bali yang sudah berakulturasi kuat dengan budaya lokal selama berabad-abad.
Sumber Lokal: I Made Titib dalam bukunya "Veda Sabda Suci: Pedoman Praktis Kehidupan" juga menekankan bahwa inti Hindu adalah Sanatana Dharma (Kebenaran Abadi) yang universal, bukan terikat pada satu bentuk ritual atau budaya tertentu. Kitab sucinya sama (Veda), konsep dasarnya sama (karma, moksa, dharma), tapi ekspresinya bisa sangat beragam.
Jadi, ketika muncul praktik atau kelompok yang:
- Pakai bahasa Sanskerta murni (bukan Kawi/Bali) dalam puja,
- Ritualnya lebih sederhana atau bahkan lebih kompleks tapi berbeda dari pakem Bali,
- Fokus pada aspek filosofis tertentu yang kurang populer di Bali,
Atau berasal dari tradisi Hindu di daerah lain di Indonesia (seperti Hindu Jawa ala Kejawen atau Hindu Tengger)...
...banyak yang langsung meragukan ke-Hindu-annya, bahkan tanpa usaha memahami dulu. Ini kesalahan berpikir pertama dan paling fundamental.
2. Bukti Nyata: Kasus-Kasus Intoleransi Internal
Dalam sebuah artikel di Kompas.com (2020), disebutkan bahwa masih banyak warga Hindu Bali yang menganggap keikutsertaan dalam adat desa sebagai bagian mutlak dari keimanan. Ketika ada seseorang yang lebih memilih jalur spiritual pribadi, langsung dikaitkan dengan “tidak patuh” atau “membelot.”
Sementara itu, buku *Hinduism and Diversity* oleh Klaus K. Klostermaier menjelaskan bahwa pluralitas adalah esensi Hindu. Tidak ada satu jalan yang mutlak, dan perbedaan seharusnya dirayakan, bukan dicurigai.
Nggak usah jauh-jauh, kita lihat contoh konkret yang pernah (dan masih) terjadi:
Kasus Hare Krishna (ISKCON) di Bali:
Komunitas ini sering jadi sasaran. Mereka dicap "bukan Hindu", "agama baru", bahkan "sesat" oleh sebagian kalangan (terutama tokoh adat/tradisionalis tertentu).
Alasannya? Ritual mereka berbeda (lebih banyak menyanyi dan menari - kirtan), pakaiannya berbeda (sari, dhoti), bahasanya Sanskerta, dan fokus pemujaan kepada Wisnu/Krishna dalam bentuk yang mungkin kurang familiar di Bali.
Fakta Sebenarnya: Hare Krishna adalah bagian dari tradisi Vaishnavisme Gaudiya yang sudah berusia ratusan tahun di India. BBC News Indonesia dalam laporannya "Hare Krishna di Bali: Diterima atau Ditolak?" (2020) menceritakan perjuangan mereka mendapatkan pengakuan dan seringnya menghadapi penolakan halus maupun terang-terangan dari sebagian masyarakat Hindu Bali. Padahal, filosofi dasarnya jelas Hindu.
Ironi: Sementara turis atau pendatang non-Hindu diterima dengan senyum, kelompok Hindu yang secara teologis jelas-jelas bagian dari tradisi besar Hindu ini justru dipersulit.
Penolakan terhadap Umat Hindu Non-Bali (Jawa, Tengger, dll):
Banyak cerita tentang keluarga Hindu Jawa yang tinggal di Bali mengalami kesulitan saat ada anggota keluarga yang meninggal. Mereka ingin mengubur sesuai tradisinya (karena berbagai alasan, termasuk ekonomi atau keyakinan), tapi mendapat tekanan sosial bahkan dari banjar/tokoh setempat untuk melakukan ngaben.
Argumennya: "Kalau nggak ngaben, arwah nggak bersih, nggak bisa menyatu dengan leluhur (moksa), dan... bukan Hindu sejati."
Fakta Sebenarnya: Kompas dalam artikel "Ngaben, Kewajiban atau Tradisi?" (2021) mengutip ahli yang menjelaskan bahwa Hinduisme tidak mewajibkan satu jenis upacara kematian. Di India, ada yang dikremasi, ada yang dikubur, tergantung aliran, kasta, daerah, dan keadaan. Konsep moksa jauh lebih kompleks daripada sekadar diaben atau tidak. Memaksakan ngaben sebagai sine qua non ke-Hindu-an adalah penyempitan makna agama yang parah.
Sumber Referensi: Buku "Manawa Dharmasastra" (Sarasamuscaya), kitab hukum Hindu kuno, memang membahas berbagai jenis upacara kematian, bukan hanya kremasi. Dr. I.B. Mantra dalam berbagai tulisannya juga sering menekankan esensi spiritual dibalik ritual.
Kecurigaan terhadap Aliran-Aliran "Baru" atau Berbeda:
Aliran seperti Saiwa Siddhanta (yang sebenarnya sangat tua dan filosofis), kelompok pemuja Ganapati secara khusus, atau praktisi Tantra tertentu sering kali dipandang dengan sebelah mata atau dianggap "menyimpang" oleh masyarakat umum Hindu Bali, meski dasar teologisnya jelas ada dalam literatur Hindu.
Penyebabnya: Kurangnya pemahaman, ketidakakraban dengan ekspresi keagamaan di luar bingkai Bali, dan ketakutan akan "pengaruh asing" yang dianggap mengancam kemurnian Agama Hindu Dharma (versi Bali).
3. Kenapa Bisa Terjadi? Akar Masalahnya
Nggak muncul tiba-tiba. Beberapa faktor kunci:
Fusi Agama dan Budaya yang Sangat Kuat: Di Bali, agama (Hindu) dan budaya (adat Bali) sudah menyatu sedemikian rupa selama berabad-abad. "Adat" sering kali dianggap lebih sakral atau setidaknya setara dengan "agama" itu sendiri. Akibatnya, menyimpang dari adat = menyimpang dari agama. Padahal, dalam Hindu universal, budaya adalah ekspresi lokal, bukan esensi agama.
Sumber Referensi: Penelitian Clifford Geertz "Religion of Java" (1960) dan "Internal Conversion" in Contemporary Bali (1964) secara klasik menggambarkan bagaimana Hindu Bali adalah hasil sinkretisme yang unik. Dr. Michel Picard dalam berbagai tulisannya tentang "Bali: Pariwisata Budaya dan Identitas Budaya" juga banyak membahas tarik-menarik antara agama dan budaya ini.
Pendidikan Agama yang Terlalu "Bali-Sentris":
Kurikulum pendidikan agama Hindu di sekolah-sekolah Bali umumnya sangat berat pada praktek ritual, filsafat, dan sejarah versi Bali. Keragaman aliran dan ekspresi Hindu di luar Bali, apalagi secara global, jarang disentuh secara mendalam atau bahkan diabaikan.
Sumber Referensi: Buku teks "Pendidikan Agama Hindu" yang digunakan di sekolah bisa dilihat sebagai contoh. Fokusnya sangat kuat pada pelaksanaan yadnya, tatwa dalam konteks Bali, dan sejarah perkembangan Hindu di Indonesia (yang juga fokus pada Bali). Artikel di Jurnal Kajian Bali sering mengkritik kurangnya muatan keragaman internal Hindu dalam pendidikan formal.
Ketakutan akan Perubahan dan "Penceraian" Budaya: Ada kekhawatiran yang dalam bahwa mengakui atau membuka diri terhadap aliran lain akan mengikis keunikan dan kemurnian budaya Bali. Ini berkaitan erat dengan pariwisata dan identitas. Bali ingin mempertahankan "brand"-nya, dan perbedaan internal dianggap sebagai ancaman terhadap citra yang homogen itu.
Politik Identitas dan Otoritas Keagamaan:
Konsep "Hindu Bali" menjadi alat politik identitas yang kuat, baik dalam konteks lokal (misalnya, mempertahankan hak adat) maupun nasional (membedakan diri dari mayoritas Muslim). Mempertahankan homogenitas internal menjadi cara (yang keliru) untuk memperkuat identitas kelompok ini.
Sumber Referensi: "Jurnal Kajian Bali" Volume 08, No. 02 (2018) memuat artikel-artikel yang membahas politik identitas Hindu Bali secara mendalam, termasuk bagaimana konsep "tradisi" digunakan untuk mengukuhkan otoritas tertentu dan menyingkirkan yang dianggap "berbeda".
Kurangnya Dialog Antaraliran: Jarang sekali ada forum formal atau informal yang mendorong dialog mendalam dan saling pengertian antara penganut tradisi Hindu Bali dengan penganut aliran Hindu lain, baik dari dalam maupun luar negeri. Ketidaktahuan melahirkan prasangka.
4. Dampaknya: Toleransi yang Pincang & Ancaman Masa Depan
Hipokrisi: Puja-puji toleransi Bali ke luar menjadi kurang bermakna ketika di dalam rumah sendiri ada sikap intoleran.
Perpecahan Internal: Menciptakan friksi dan ketegangan yang tidak perlu antar sesama umat Hindu.
Penyempitan Makna Agama: Mengurangi Hinduisme yang kaya dan kompleks hanya menjadi ekspresi budaya Bali semata, kehilangan kedalaman filosofis dan keragaman universalnya.
Kebekuan Spiritual: Menghambat pertumbuhan spiritual dan pemahaman keagamaan yang lebih luas karena menutup diri dari khazanah pemikiran Hindu lainnya.
Ancaman bagi Generasi Muda: Generasi muda Hindu Bali yang lebih terpapar dunia global mungkin akan melihat kontradiksi ini dan menjadi sinis terhadap agama atau justru meninggalkan tradisi karena merasa terkungkung.
Intoleransi semacam ini bisa menimbulkan banyak masalah. Dari konflik antarwarga, pengucilan sosial, hingga keretakan keluarga. Lebih parah lagi, generasi muda jadi malas mendalami agama karena melihat agama hanya sebagai aturan rumit yang penuh tekanan sosial. Mereka melihat agama bukan sebagai jalan pembebasan, tapi kewajiban penuh beban.
5. Lalu, Solusinya? Membangun Toleransi Sejati Dimulai dari Dalam
Solusi dan Jalan Tengah
- Pendidikan Keagamaan yang Inklusif: Ajaran agama Hindu di sekolah dan banjar harus mulai memasukkan pemahaman bahwa pluralitas adalah kekuatan. Setiap aliran punya nilai dan jalan sendiri.
- Pisahkan Adat dan Agama: Perlu pemahaman mendalam tentang perbedaan antara adat dan ajaran inti Hindu. Adat bisa berubah, tapi dharma bersifat abadi.
- Berani Bertanya dan Berdialog: Jangan takut berbeda. Buka ruang dialog antaraliran, saling belajar dan saling menghormati.
- Tokoh Agama dan Pemuka Adat Jadi Teladan: Para pemangku, sulinggih, dan tokoh masyarakat harus menjadi contoh dalam merangkul perbedaan.
Gimana caranya memperbaiki kesalahan berpikir ini? Nggak mudah, tapi bisa dimulai:
Revolusi Pendidikan Agama:
Kurikulum harus direvisi untuk menyertakan pengajaran tentang keragaman aliran dan tradisi dalam Hinduisme global secara seimbang dan objektif. Pelajari Saiwa Siddhanta, Vaishnavisme dalam berbagai bentuknya (termasuk Hare Krishna), Shaktisme, Hindu Tamil, Hindu diaspora, dll.
Tekankan perbedaan antara Sanatana Dharma (esensi universal) dan Sadharana Dharma (etika universal) dengan Desa, Kala, Patra (tradisi lokal sesuai tempat, waktu, keadaan). Tradisi Bali adalah bentuk Desa, Kala, Patra, bukan satu-satunya bentuk kebenaran.
Gunakan sumber yang luas: Buku Wendy Doniger, tulisan sarjana Hindu India, buku-buku tentang Hindu di berbagai belahan dunia.
Mendorong Dialog Antaraliran & Antar Tradisi:
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan organisasi keagamaan/adat lainnya perlu aktif menginisiasi dialog terbuka dan saling menghormati dengan perwakilan dari berbagai aliran Hindu, baik yang sudah ada di Bali maupun yang mewakili tradisi lain di Indonesia/India.
Forum-forum diskusi, seminar, dan pertukaran perlu digalakkan di tingkat banjar, sekolah, dan universitas.
Memisahkan (Secara Pemahaman) Agama dan Budaya:
Sosialisasi terus-menerus bahwa tradisi Bali adalah bentuk lokal yang indah dan sah dari Hinduisme, tetapi bukan satu-satunya bentuk yang sah. Menghormati budaya Bali tidak berarti menolak bentuk ekspresi Hindu lainnya.
Sumber Referensi: Karya-karya Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus sering membahas dinamika budaya Bali dan tantangan modern, termasuk pentingnya adaptasi tanpa kehilangan jati diri.
Tokoh Agama & Adat Harus Memberi Contoh:
Pernyataan dan sikap dari sulinggih, pemangku, bendesa adat, dan tokoh masyarakat sangat berpengaruh. Mereka perlu menunjukkan sikap inklusif dan menghargai perbedaan internal dalam tubuh Hindu, bukan justru memperkuat prasangka.
Membuka Akses Informasi:
Mendorong penerjemahan dan publikasi buku-buku, artikel, dan materi tentang berbagai aliran Hindu. Perpustakaan, website organisasi Hindu, dan media lokal bisa jadi sarana.
Kesimpulan: Toleransi Itu Nggak Cuma untuk "Luar", Tapi Juga untuk "Dalam"
Bali memang punya tradisi toleransi yang patut dibanggakan dalam konteks antar umat beragama. Tapi, kebanggaan itu akan terasa hambar dan hipokrit kalau kita masih memandang sebelah mata, menyangsikan, bahkan menolak saudara seiman sendiri hanya karena mereka menjalankan Sanatana Dharma dengan cara yang berbeda dari tradisi Bali kita.
Mengakui dan menghormati keragaman internal Hindu bukanlah pengkhianatan terhadap budaya Bali, justru itu penguatan terhadap hakikat Hindu yang sejati: universal dan beragam.
Belajarlah dari India, di mana ribuan aliran dan sub-aliran bisa (meski kadang ribut juga) hidup dalam payung besar Hinduisme. Toleransi sejati dimulai dari kemampuan kita menerima perbedaan di dalam rumah kita sendiri. Baru setelah itu, pujian atas toleransi Bali akan benar-benar utuh dan bermakna.
Gimana, saudara-saudaraku sesama Hindu Bali? Sudah siap membuka hati dan pikiran untuk keragaman yang memperkaya ini? Atau kita mau terus terjebak dalam mitos "Hindu Bali adalah satu-satunya Hindu yang benar"?
Akhir kata:
Toleransi itu bukan cuma untuk "orang luar", tapi juga untuk "orang dalam". Semoga Hindu Bali makin bijak! 🙏
Referensi (Dikembangkan):
- Doniger, Wendy. (2009). The Hindus: An Alternative History. Penguin Books. (Membahas keragaman sejarah dan aliran Hindu secara global)
- Titib, I Made. (2003). Veda Sabda Suci: Pedoman Praktis Kehidupan & Pengamalan Ajaran Agama Hindu (Dharma Śāstra). Paramita Surabaya. (Menekankan esensi universal Sanatana Dharma)
- Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. University of Chicago Press. (Membandingkan sinkretisme Jawa & Bali).
- Geertz, Clifford. (1964). "Internal Conversion" in Contemporary Bali. In Malayan and Indonesian Studies: Essays Presented to Sir Richard Winstedt. (Klasik membahas pembentukan Hindu Bali modern).
- Picard, Michel. (1996). Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture. Archipelago Press. (Membahas tarik-menarik budaya, agama, dan pariwisata).
- Mantra, Ida Bagus. (Berbagai Tulisan & Pidato). (Tokoh PHDI yang sering menekankan esensi spiritual).
- Bagus, I Gusti Ngurah. (Berbagai Tulisan tentang Budaya Bali). (Sarjana budaya Bali yang kritis).
- BBC News Indonesia. (2020, October 15). Hare Krishna di Bali: Diterima atau Ditolak? (Laporan kasus nyata).
- Kompas. (2021, September 10). Ngaben, Kewajiban atau Tradisi? (Membahas tekanan sosial terkait ngaben).
- Jurnal Kajian Bali. (2018). Volume 08, No. 02: Politik Identitas Hindu Bali. (Artikel ilmiah tentang penggunaan identitas).
- Jurnal Kajian Bali. (Berbagai Volume). Artikel tentang Pendidikan Agama Hindu. (Kritik terhadap kurikulum).
- Manawa Dharmasastra (Sarasamuscaya). (Kitab Hukum Hindu kuno yang membahas berbagai aspek hidup, termasuk kematian).
- Wiana, I Ketut. (2007). Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Pustaka Manikgeni. (Contoh buku teks yang sangat Bali-sentris, mewakili kurikulum umum).